TAWADLU’
Disusun oleh : N. A. Fadhillah
Suatu waktu dalam sebuah tayangan televisi swasta TV One menyajikan
program acara “GERTUS” sebuah program yang mengulas tentang perilaku, sikap,
tingkah gerak tubuh, tutur kata dan sebagainya yang apa adanya atau yang
dibuat-buat. Acara itu di pandu oleh salah satunya bapak efendi Ghozali (pakar
komunikasi politik) dalam acara gestur kali ini menghadirkan tokoh nasional
bapak Dahlan Iskan (Mentri BUMN, mantan dirut PLN, mantan bos jawa pos, dan
alumni pesantren). Dalam tayangan live (langsung) itu efendi ghozali bertanya:
bapak dahlan!, anda duduknya kok gitu, sopan banget! Saya lihat dari tadi
kepala dan badan anda selalu menunduk, tangan dimasukan kepaha begitu? Tadi pun
ketika berjabat tangan dengan kami, anda bungkukkan badan? Anda ini besar lho
pak? Kok nggak kaya bos-bos lain, pejabat-pejabat lain yang berdirinya tegak,
duduknya tegap, kenapa pak?
Atas pertanyaan efendi ghozali itu pak dahlan iskan dengan senyum
khasnya menjawab: “gak tahu ya! Saya begini sopan apa nggak! Saya begini sudah
sejak dulu lho, tidak saya buat-buat, sejak di pesantren dulu saya selalu
diajarkan untuk tawadlu’ dengan siapa saja dimana dan kapan saja”
Selain pak dahlan iskan, penulis mendapat cerita tentang ketawadlu’an
dua ulama besar K.H. Asy’ari dan K.H. Muntaha Al-Hafidz. Suatu ketika K.H.
Muntaha yang sedang bertugas di temanggung hendak berkunjung silaturahim ke
kampung halamannya kalibeber wonosobo bertemu ayahandanya K.H. Asy’ari,
sesampainya didepan Ndalem/rumah K.H. Asy’ari beliau K.H. Muntaha mengetuk
pintu dan mengucap salam, kendati pun itu rumah sendiri atau rumah orang tuanya
sendiri, beliau tidak berani masuk dan tidak berani duduk sebelum dipersilahkan
masuk dan duduk karena ketawadlu’annya beliau kepada orang tuanya. K.H. Asy’ari
yang mendengar bahwa tamunya adalah K.H. Muntaha (putranya) buru-buru
memberishkan badan (berwudlu) memakai pakaian yang terbaik, dan memakai
wangi-wangian. Semua ini untuk menghormati tamu yang datang sekalipun tamu itu
adalah anaknya sendiri. Apa lagi tamu itu seorang ulama besar, itulah
ketawadlu’an K.H. Asy’ari kepada putranya dan karena ilmunya.
Tawadlu’ (rendah hati) adalah tidak merasa diri lebih baik, tawadlu’
lawan kata takabur, rendah hati lawan tinggi hati (sombong). Rendah hati hanya bisa
dimiliki orang yang kuat jiwanya. Karena ia seperti padi, semakin berisi
semakin merunduk. Orang yang rendah hati mampu mengakui dan menghargai
keunggulan orang lain, orang yang rendah hati mampu membuat orang yang lebih
tinggi derajatnya merasa dihargai dan mampu membuat orang yang lebih rendah
derajatnya tidak merasa minder atau merasa hina.
Rendah hati berbeda dengan rendah diri yang membuat tidak bisaa menggali
potensi dan kemampuan dirinya menjadi lemah dan rendah, tetapi rendah hati atau
tawadlu’ adalah kualitas jiwa yang menyimpan kekuatan besar, karena ia hanya
tunduk kepada yang maha kuasa dan maha perkasa yaitu Allah SWT
1.
Anjuran bersikap rendah hati atau tawadlu’ dalam Al-Qur'an
-
“dan hamba-hamba Allah SWT yang maha penyayang itu ialah orang-orang
yang berjalan diatas bumi dengan renah hari”…(Q.S. Al-Furqon: 63)
-
Dan rendah lah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman (Q.S. Al-Syu’aro: 215)”
2.
Anjuran untuk rendah hati atau tawadlu dalam al-hadits
-
Rasulullah SAW bersabda: bertawadlu’ itu tidak menambah sesuatu bagi
seorang hamba melainkan ketinggian, maka rendah hatilah kamu, pasti Allah SWT
akan meninggikan kamu. (H.R. Abiddunnya)
-
Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT telah memberi wahyu
kepada saya, hendaklah kamu merendahkan hati, sehingga tida ada sifat sombong
diantara satu dengan yang lain dan tidak ada kedurhakaan antara satu dengan
yang lain. (H.R. Muslim)
3.
Anjuran atau tawadlu’ menurut para ulama
-
Imam syafi’I berkata: Rendah hatilah! Engkau menjadi seperti bintang,
dia berada tinggi di langit, tetapi di permukaan air dia tampak rendah
-
Abu hasan Al-Busyanji berkata: barang siapa merendahkan hatinya, maka
Allah SWT akan memuliakannya, dann barang siapa memuliakan dirinya, maka Allah
SWT akan merendahkan di mata para hamba.
-
Arroshadi berkata: Syarat para pelayan (hamba yang menjalankan ketaatan
kepada Allah SWT) adalah bersikap tawadlu’ dan berserah diri.
-
Sahal bin Abdullah berkata: “Wajibkanlah diri kalian untuk bertawadlu’
niscaya kalian akan selamat dari tuntutan, barang siapa bertawadlu’ kepada
Allah SWT maka dia tidak akan bersikap sombong kepada makhluk”
-
Syekh K.H. Muntaha Al-Hafidz berkata: Tawadlu’ itu seperti air, setinggi
apapun tempatnya air akan mengalir ke arah dan tempat yang lebih rendah.
Karya SD Takhassus Al-Qur'an
Kalibeber Mojotengah
Wonosobo
Diterbitkan pada Edisi I Maret
2013 M
Robi’ul Akhir 1434 H
0 komentar:
Posting Komentar